Sunday, December 04, 2005

Mengapa Saya Tolak Memuja SBY

Seorang teman mengajak kita semua untuk 'tetap' mendukung SBY, dengan alasan bahwa;
"secara makronya, untuk masa masa sulit seperti sekarang ini, tidak ada pemimpin lain yang ideal selain Bapak SBY."
Ada beberapa hal yang membuat saya terarik untuk 'menanggapi' ajakanya.Saya pribadi, punya pendapat yang berbeda. setidaknya ada dua alasan mengapa saya termasuk golongan orang orang yang tidak melihat alasan mengapa saya harus 'memuja' kepemimpinan SBY, diantaranya :span class="fullpost">

1.Kebijakan yang dikeuarkan sangat 'middle class prespectives' dan tidak 'people sensitive'.
FAKTA : Pencabutan berbagai subsidi yang sangat berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, bukan hanya dalam koteks kekinian melainkan Juga fatal pengaruhya bagi masa depan bangsa.
Contoh :
A. Pencabutan subsidi bagi perguruan tinggi, mengakibatkan, angka fantastis yang muncul jika kita berniat medaftar menjadi mahasiswa universitas - Universitas Negeri ternama, setidaknya harus menyediakan kurang lebih 1000 dolar,hanya untuk Admission Fee dan administrative process..Ini hanya untuk Jenjang S1 .Untuk jenjang S2, pengalaman saya ketika ingin mendaftar program magister...untuk amission fee..harus sekitar 5000 dolar yang terogoh dari kocek !!Bisa dibayangkan, siapa yang sanggup menjangkau angka angka fantastis tersebut ?Berapa persen dari penduduk Indonesia ?
Bandingkan dengan India, dengan ranking dunia yang jauh lebih baik, pendidkan India jauh lebih terjangkau..untuk program profesional seperti LLM atau MBA, untuk satu program hingga selesai, sebagai foreigner hanya sekitar kurang lebih 1000- 1500 dolar yang harus terogoh dari kocek, sementara bagi local student..hanya 700-1000 rupees..alias 15 - 22,5 USD!!SATU PROGRAM MASTER, dengan masa studi rata rata 4 semester..

B. Pengurangan fantastis Subsidi BBM.
Dengan alasan ini dan itu dan kebijakan 'kompensasi' yang sangat tidak tepat guna dan (maaf) Bodoh luar biasa.Alih alih menelurkan kebijakan yang bersifat stewardship dan dapat dirasakan hasilnya secara makro, semisal menyalurkan dana kompensasi BBM untuk sektor pendidikan dan/atau kesehatan , pemerintah, menyalurkan dana kompensasi BBM dalam bentuk subsidi langsung yang sifatnya charity oriented,Instan dan tidak mendidik..
Anda bisa bayangkan, subsidi yang diberikan person to person, alih alih menyelesaikan masalah justru melahirkan banyak masalah baru.Diantaranya , jumlah uang yang di ' sumbangkan' tidak sebanding dengan kenaikan harga harga yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM.
Selain itu, dalam konteks pembangunan karakter bangsa menuju masyarakat madani dan siap bersaing dalam era globalisasi, sangatlah menyedihkan menyaksikan sekian ratus ribu orang dikotakan dalam golongan miskin, disuruh antri, dan 'mengambil jatah belas kasihan' dari Negara..Tidak memadai pula... :(.
Dalam konteks masyarakat indonesia saat ini, Secara konseptual dan tehnikal..kebijakan subsidi langsung sangatlah lemah,tidak tepat guna,pun tepat sasaran.Selain itu, ternyata alasn kebijakan penghapusan subsidi BBM ternyata tidak sesuai dengan faktor pendorong faktual yang ada dilapangan .

2.Inkosistensi Visi Kepemimpinan ;apa yang dijanjikan dan dikampanyekan sebelumya berakhir menjadi leucon menggelikan dan kekanak kanakan.
FAKTA :

A. Mengenai pemberantasan Korupsi ;
Sangatlah patut dihargai,bahkan kalau perlu diacungi jempol, niat baik dan aksi aksi pemerintahan SBY untuk memberantas korupsi , terbukti dengan kasus kasus pemberantasan korupsi di jajaran birokrasi dan pemerintahan Daerah yang selama ini di blow up ke permukaan. tetapi ada satu pertanyaan yang muncul dibenak saya soal ini.
Begitu banyak koruptor tingkat daerah dan nasional , dengan nilai korupsi milyaran rupiah yang di ciduk..tetapi saya tidak mendengar ada langkah kongkret yang dilakaukan pemerintah SBY untuk menyelesaikan kasus MEGA korupsi BLBI yang mutlak berpengaruh besar pada kehidupan bangsa indonesia..

B.Mengenai Demokratisasi
Demokrasi adalah keniscayaan. Masih segar tentunya dalam ingatan kita, kampanye akbar calon Presiden tahun 2004,SBY dengan bahasa verbal serta Visual yang meyakinkan dan 'kharismatik' saat itu menjanjikan Demokratisasi yang sejati di Indonesia.Pada kenyataanya, bisa kita lihat, kebijakan yang ditelurkan lagi lagi kontras dengan kampanye beliau.
Apa jadinya Demokrasi jika ketersinggungan presiden menjadi alasan untuk memboikot pemred kompas untuk meliput acara kepresidenan ?Apa jadinya pula, jika di tingkat kebijakan formal, fungsi pembatasan arus informasi dan komunikasi kembali dihidupkan (PP No 50 tahun 2005 tentang lembaga penyiaran swasta serta tiga PP lainya mengenai lembaga penyiaran berlangganan, lembaga penyiaran asing, dan lembaga penyiaran komunitas)
Ditambah lagi PP tersebut dibuat tanpa mempedulikan UU no 32 tahun 2002 ; dilahirkan tanpa konsultasi bersama dengan komisi penyiaran.
Poin yang terakhir semakin menunjukan miskinya pemhaman Presiden mengenai Demokrasi Modern, karena dua indikator signifikan diabaikan begitu saja ; kebebasan Pers, dan pelanggaran peraturan formal yang telah sah ditetapkan.
Selain perihal umum yang saya unkapkan diatas, saya juga punya alsan yang sangat personal, mengapa saya tidak melihat signifikansi pentingnya memberi dukungan pada SBY.
Kebetulan saya beruntung, pada tanggal 23 November 2005, beliau beserta rombongan berkesempatan melakukan lawatan Ke India. Salah satu agendanya, selain mebuka kerja sama (partnership) dengan Pemerintah dan kalangan Bisnis India, khususnya dibidang manufacturing dan IT, adalah bertatap muka dengan warga Indonesia di India.
Dalam Event tersebut, saya mendapat kesempatan emas untuk mengajukan pertanyaan, dan yang saya pilih, adalah mengenai pendidikan, tentunya. Saya Jelaskan mengapa saya memilih India untuk melanjutkan studi saya.
Ada dua alasan pokok, yang pertama tentunya kualitas, dan selanjutnya adalah keterjangkauan.Saya jelaskan panjang lebar, betapa murahnya sekolah di India, baik biaya perkuliahan, hingga biaya sarana penunjang pendidikan, seperti buku buku, akses Informasi (koran, Majalah, hingga TV Cable) dan lain sebagainya.
Lalu saya tambahkan lagi, kualitas Pendidikan disini, melesat jauh diatas Indonesia,salah satu Indikatornya, staf pengajar kelas dunia yang juga menjadi visiting professor di OXford, Harvard, Stanford dll dst. Saya bandingkan dengan Indonesia, dimana biaya pendidikan tinggi sangatlah mahal dan tidak terjangkau orang kebanyakan (untuk satu program profesional seperti master kenotariatan, admission fee dari sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka tidak kurang dari 5000 USD !!! bandingkan dengan India; satu program LLM, 4 Semester sampai selesai, MAKSIMAL sekitar 1500 dolar yang dikeluarkan).
Pengajar di Indonesia pun bisa dihitung dengan jari yang boleh dikatakan berkelas dunia, itupun sangatlah sulit ditemui, berbeda jauh dengan India, selama para pengajar ada di India, Sekalipun profesor sekelas Amartya Sen (pemenang Nobel Ekonomi ),kapanpun akses terbuka untuk bertatap muka dan berdiskusi, kalaupun sedang tidak berada di India,akses online bisa digunakan dan boleh dikatakan sama efektifnya.
Belum lagi Di Indonesia,Selain sulit didapat, buku buku sangat MUAHAL harganya, terutama buku buku references..Masih segar dalam ingatan saya, bagaimana kalang kabutnya saya mencari buku dan menabung susah payah untuk membeli satu buku referensi.Kalau kita ,memfoto copy begitu saja, itu namanya melanggar Intellectual property right bukan ? :),dan sepertinya, lagi lagi pemerintah tidak terlalu peduli akan hal ini.
Poin terakhir saya adalah pertanyaan, kapan pemerintah mau mulai memperhatikan maslah pendidikan secara serius ? Kapan anggaran Pendidikan APBN seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 amandemen ke 4 tahun 2002 sebesar 20 persen akan dipenuhi ?
Setelah selesai bertanya, saya baru sadar, wajah bapak presiden didepan saya berubah, sedikit tidak ramah dan merasa terganggu. :D Beliau kemudian menjawab pertanyaan saya.Diawali dengan " soal pendidikan , saya sudah 9 kali merasakan pendidikan di luar negeri, dst dll..intinyabeliau berkata, bahwa pendidikan di Indonesia tiodakalh 'seburuk' itu dan dilanjutkan dengan berbagai jawaban defensif, tidak nyambung dan sangat apologatif.Bebrapa peryataannya bahkan sangat tidak berhubungan dengan pertanyaan yang saya ajukan.Salah satunya adalah soal buku murah.
Karena 'bosan' saya berbisik pada teman yang duduk disebelah saya ' alah..dia juga nyekolahin anaknya ke luar negeri kan ? Kalau pendidikan di Indonesia sebagus itu, kenapa dia sekolahin anaknya di luar negeri ? :D
Rupanya beliau 'menagkap' reaksi saya yang 'tidak patuh tertib' mendengarkan. Walhasil beliau menegur setangah 'membentak' saya , " Dengarkan kalau saya sedang bicara, tadi anda bicara saya dengarkan".
Saya sedikit terkejut, juga merasa bersalah..iya juga ya..sepertinya saya tidak 'sopan'.Habis gimana dong..jawabannya nggak nyambung dan klise sihh..;)
Akhirnya selesai juga pertemuan itu.Ditengah jalan menuju pintu keluar, salah satu Staf beliau berseloroh pada saya ' Dik, UGM nomor 200 lho, versi majalah Fortune..Lagi lagi, alih alih berintrospreksi, pernyataan defensif yang keluar..Sayapun cengar cengir sambil nyeletuk ; iya Mas, tapi kampus saya disini 10 besar ;).Bung Andi puun berlalu..hehehe
Intinya ; ternyata SBY bukanlah sosok pemimpin yang gentle dan legowo, ketika kritik disampaikan, tentu dengan fakta dan data yang jelas, beliau sanat defensif, bahkan cenderung 'ngambek' dan anti kritik.Juga stafnya.Setali tiga uang.
Yang membuat saya sedih, diawal pertemuan beliau berpidato panjang lebar soal Indonesia bangsa yang kaya resources, siap masuk ke poersaingan global, bla bla bla, nya nya nya, da da da.Tetapi lupakah beliau, berapa banyak natural resources yang sudah 'terjual' dantergadai ?
Dan satu lagi pertanyaan, Human Resources macam mana yang tersedia saat ini ? Bersaing di Level mana ? Kalau pendidikan tinggi sangat mahal dan sulit dijangkau olah kebanyakan orang, lalu resources yang mana yang akan 'dilempar' ke panggung global ? Blue collar workers ?yang selama bebrapa dekade sudah di rajai lapangannya oleh tenaga kerja Indonsia, sedihnya pula, tidak pernah ada perlindungan hukum yang serius oleh pemrintah atas keberadaan mereka.
Sampai kapan Indonesia akan menjadi Negara 'penumbal' tenaga kerja kerah biru ? :( SBY mungkin lupa dan atau bahkan tidak pernah 'menghitung' persoalan ini. Karenanya dengan bangga (cenderung tidak tahu malu) jumawa berbicara mengenai keberhasilan dan kesiapan rejimnya mengantar bangsa Indonesia ke persaingan Global..
Poin ini yang semakin kuat mendorong saya untuk secara politis tidak mendukung kepemimpinan SBY..
Jadi maaf kawan , bukan perkara menolak ajakanmu, tetapi memang saya tidak menemukan alasan yang signifikan untuk memuja dan setuju bahwa SBY adalh pemimpin terbaik bangsa ini...

10 comments:

Anonymous said...

It's rather unfortunate that even though one had valid criticism over the running of the present administration, its content is pretty much lost through one's childish behavior. Everybody's well aware of the fact that it's simply impolite to talk to another when one is being spoken to. But then again, at least one's famous for irking the president ;)

Anonymous said...

lho, Anda sendiri kurang bijak kok. Masak Presiden menjawab, Anda malah ngobrol sendiri. Bayangin kalau Anda pada posisi SBY, njawab pertanyaan orang, terus orang itu ngobrol sendiri (apapun alasannya). Anda bisa terima nggak.

Yang diomongin SBY memang visioner, gak bisa dikerjain sama dia sendiri, tetapi seluruh orang Indonesia juga. Kalau ngomong majukan pendidikan, bisa gak Anda tar kalau lulus pulang ke Indo, bikin sekolah murah kek di Indo. Bukan sesuatu yang tidak masuk akal, kan?

(bukan pendukung SBY)

blue verdana said...

Data yang kuat dan akurat ... ternyata... walaupun jauh, masih tetep nyimak berita negeri sendiri, gw aja yg stay di sini, kagak tau ttg mslh2 itu...

Tapi, good .... mudah2an.... elo nanti abis nyelesain S2, bisa pulang ke kampung halaman di jagakarsa .... sekalian ajak Sahil dan anak loe... supaya dia ikutan membangun negeri ini .... yah.. itung2... berbakti pada bangsa dan negara mertuanya gitcuu ....

Mbak Tylla said...

hehe...
Untuk anonymous..
Bahkan sebelum selesai sekolah saya pernah bikin seklah gratis kok, tapi brenti karena nggak kuat dukungan finansialnya :)

Sekali lagi..kalau pemerintah punya political will dengan bikin kebijakan yang people sensitive, kayaknya nggak mustahil kok, memperbaiki situasi yang mencekik leher.
Persoalanya,nggak keliatan tuh, piliticall will and act rejm sby buat bikin kebijakan yang cerdas dan people sensitive..hehehehe

d4nsk said...

Sukses deh___
yang jelas pemerintah memang harus dikritik dengan fakta" yang ada, dan yang dijabarkan itu bisa diterima___
-yakin tuh bukan pendukung SBY? Kalo bukan jangan pake account anonymous dong-

Mbak Tylla said...

hai hai..Andrie, kapan kita bisa online bareng ? pengen dibagi ilmunya doong.. :)
Makasih ya udah berkunjung ke Blog ku :)Blog kamu keren deh..bikin minder..:D

Anonymous said...

saya rasa siapapun juga orangnya akan marah apabila pada saat kita sedang bicara bukannya diperhatikan oleh orang yang kita ajak bicara eh orang itu malah ngobrol dengan orang lain.

sayang sekali apabila maksud baik tidak diikuti dengan good attitude and good ethics. Alih-alih kesampaian niat baik kita malah emosi yang didapat.

i suggest tylla should try to put herself in SBY's position and think of how she will react in such situation.

mbakyu, ono unggah ungguh, toto kromo sing kudu dipelajari. dadi ojo dumeh pinter terus ora nduwe roso empati marang sedulur ...

saya tidak membela SBY tapi saya mencoba menempatkan diri saya di posisi dia dan memahami betapa berat tugas dia sebagai presiden indonesia ini yang sistemnya sudah bobrok sedemikian rupa sampai ke akarnya. Saya bekerja sebagai konsultan strategic management untuk pemda-pemda di indonesia. Mencoba beramal dengan cara memperbaiki sistem kerja pemerintahan dari grass root and its not an easy job!!! karena sistem pemerintahan di indonesia sudah bobrok sedemikian rupa sehingga kadang-kadang saya berpikir untuk dapat memperbaiki bangsa ini we need to cut one generation away from the government. Ibarat baju sudah sedemikian rusaknya sampai tidak bisa dibenerin lagi. Solusinya hancurkan atau buang barang itu dan beli baju baru lagi!

so, for every indonesian in the world, as JFK said don't think what your country can do to you. Think what you can do to your country. Jangan cuma bisa kritisi tapi ga ada aksi.

If not us who???
if not now when???

siapa lagi kalau bukan kita2 generasi muda ini yang bisa membangun negara kita. Negara sudah bobrok jangan ditambah rusak dengan attitude kita yang cuman bisa ngritisi tanpa ada real action.

Contoh: kasus nyata misalkan ada sampah di jalan ada beberapa aksi yang bisa anda lakukan:
1. mbatin aja atau bilang ke temen: ihhh jorok banget sih orang2 ini, kok buang sampah sembarangan ... heran deeeehhhh ..
2. diam saja tidak ada aksi tidak ada reaksi tidak ada mbatin dan tidak merasa keberatan dengan kekotoran yang ditimbulkan dengan kesewenang-wenangan orang di dalam membuang sampah
3. ambil itu sampah dan buang ke tempat sampah!

jika saja kita tidak terlalu banyak omong dan lebih memperbanyak aksi dan memilih tindakan ketiga, niscaya indonesia akan menjadi negara yang lebih bersih.

Arif Sukoco said...

Imagine yourself being the president of a really large country with a really bad economy, a corrupt governmnet, and no money to do much about anything. Now imagine yourself answering questions from someone about how bad you've been doing your job. Now imagine yourself being ignored while answering those questions. So can you imagine yourself being in his shoes? If you can, then you have really bad manners. If you can't then you really have no business telling him how bad a job he's been doing. Either way it's bad.
And so it's really regretful that your honest and important concerns about the exorbitant costs of education in Indonesia and on how much we can learn from India were wasted on such hubris. You gained notoriety on the internet, but you gained no respect and cooperation from the Indonesian government.
But enough about that neglectful incident. Now let me ask you this. If you really want to bring education in Indonesia to the same level as India's, where do you start? How do you get there? Sure, pouring more money and make it virtually free would solve the first problem of costs. But what about your other concern? How do we make Indonesian universities be - for the lack of a better word - more brainy? It's a question that my pathetic little brain have been spending quite some time on lately without anything resembling a decent answer. So if you or anybody else have any ideas on how to make that happen, please, please, let me know. This is not a sarcastic remark. I really want to know if people have any answer to that. Like you, I do think that we need to get our education system straightened out before we can achieve anything meaningful. But how we can do it is still open for debate as far as I'm concerned.

Unknown said...

Buat Soekotjo dan anonymous.

Sedih sekali membaca komentar kalian.

Pertama:
Tolong gunakan bahasa Indonesia kalau Anda memang Bangsa Indonesia.

Kedua:
Betapa sibuknya Anda mengritik "kesalahan" Tylla sampai mementahkan esensi kegelisahannya.

Bayangkan saya melakukan hal yang sama seperti Anda (atau bahkan seperti SBY??)
Tentu saya akan memarahi Anda dan mengecap Anda sebagai orang yang tidak nasionalis karena attitude Anda yang menggunakan bahasa inggris.
Tentu saya tak akan menanggapi esensi kegelisahan Anda tentang Tylla.

Tapi tentu saja tidak.

Saya bukan Anda
Saya bukan SBY.
Jadi saya akan mengomentari esensi kegelisahan kalian. =)

Kalau saya adalah seorang SBY, saya juga pasti marah dengan tindakan Tylla, tapi tentu saja saya harus berlapang dada dengan esensi pertanyaanya.

Untuk seorang pemimpin (apalagi pemimpin negara) manajemen kritik seharusnya adalah hanya seujung kuku manajemen krisis.
Siapa yang percaya SBY bisa melakukan manajemen krisis kalau melakukan manajemen kritik saja dia tak mampu.
Lihatlah pada saat mengumumkan reshuffle kabinet.
80 % waktunya dihabiskan untuk mengomentari desas desus dan kritik pers.

Saat seseorang ditahbiskan jadi pemimpin, maka dia harus menerima juga tanggungjawab.
Termasuk tanggung jawab menerima pujian karena kesuksesan dan tanggung jawab menerima kritik karena adanya masalah.
Apakah SBY berprinsip "Success is everybody's child - Failure is nobody's child" (sekali-2 pake bahasa Inggris ah kayak Anda berdua =) )
Semoga saja tidak.

Saya jadi ingat komentar Sutiyoso saat banjir melanda Jakarta bberapa tahun silam.
Ditanya oleh pers soal "kegagalan" nya mengatasi banjir, apa jawaban beliau?
Kurang lebih: "Siapapun yang jadi Gubernur tak akan bisa mengatasi masalah banjir Jakarta. Coba saja kamu yang jadi gubernur"

Astaga...

Kalau seorang yang bersedia menjadi pemimpin merasa tidak mau dibebani tanggungjawabnya, ya jangan jadi pemimpin.
Jangan suruh bayangkan orang lain berada dalam sepatunya (ternyata idiom inggris gak enak yah kalo diterjemahin :P).

Kalo setiap pemimpin berkata: "Coba Anda jadi pemimpin, bisa gak mengatasi masalah ini?",
lalu buat apa kita memilih pemimpin yang kita anggap mampu?
lalu buat apa kita memilih seorang Jenderal yang (dulu) tenang, berbahasa santun, tidak emosional, dan berpengalaman di birokrasi sekian lama?

Pilih saja saya.

Toh kalau saya tidak bisa mengatasi, pasti akan ada yang membela
"Jangan salahkan dia. Dia mewarisi yang dulu-dulu. Coba Anda jadi dia, punya cara gak mengatasi masalah ini!!??"
(paling tidak teman-teman sayalah yang akan membela ;) ).

Tentu saja itu tak mungkin karena itu cuma khayalan.

Terusss yang bukan khayalan, apa donggg??
Yang bukan khayalan adalah kenyataan.

Kenyataannya SBY adalah Presiden RI saat ini.
Bukan saya,
bukan Tylla,
bukan Soekotjo
dan yang lebih pasti bukanlah seseorang tak bernama...

Jadi tolong jangan hakimi Tylla karena "kesalahan kecilnya".
Justru berilah dia pujian untuk kritik membangunnya.

Berkat dialah mata kita dibukakan.
Termasuk dibukakan untuk melihat bahwa Presiden pun seorang manusia.
punya rasa punya hati.....



-Bukan pendukung tapi tidak anti SBY. Yang jelas anti Jusuf Kalla dan Golkar-

Anonymous said...

"Kesalahan kecil"? tidak ! Tylla tidak melakukan kesalahan apapun. Tidak ada kata "salah" dalam hal pengungkapan "kesalahan besar" seperti yang dilakukan SBY. Yang diungkapkan Tylla adalah fakta dan kebenaran. Bahkan seluruh rakyat Indonesia wajib tahu apa yang dia ungkapkan. Bravo Tylla....!